Tampilkan postingan dengan label Idea for Bisnizz. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Idea for Bisnizz. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 September 2012

Tas Lapotop Taqilla & Hirakedre



Senin, 1 November 2010 | 09:42 WIB
KOMPAS.com — Membawa komputer jinjing, laptop, notebook, netbook, dan sejenisnya dalam tas pundak atau punggung berbentuk kotak dengan warna hitam kini sudah bukan zamannya. Tak mau kalah dengan tas tangan yang berfungsi sebagai salah satu aksesori dalam berpenampilan, tas laptop pun kini semakin modis.
Model yang muncul saat ini bahkan bisa menyamarkan bahwa tas dengan label Taqilla dan Hirakedre, misalnya, adalah tas laptop. Inilah yang menjadi daya tarik bagi konsumen, terutama kalangan perempuan.
Produk tas laptop dari Taqilla desainnya tampak seperti tas tangan bermerek dengan kesan elegan. Label yang didirikan Myrna Munadi tahun 2007 ini juga menyediakan tempat telepon seluler dan kamera. Myrna bahkan telah mendesain tempat untuk iPad.
Secara garis besar, desain Taqilla terkesan sederhana. Tak banyak kain kanvas, kulit asli, atau kulit imitasi yang bermotif, kecuali motif garis-garis dan kotak-kotak di beberapa model. Detail tas hanya terlihat dari kancing yang berfungsi juga sebagai aksesori pemanis.
Namun, untuk memenuhi selera pasar yang berminat dengan desain bermotif, Taqilla juga memiliki tas dengan motif etnik, termasuk yang terbuat dari tenun yang tengah dalam proses produksi.
Pemakaian bahan suede yang halus di bagian dalam menjadi perlindungan agar laptop tidak tergores. Sementara itu, lapisan busa di antara suede dan bahan yang dipakai untuk lapisan luar menjadi penahan terhadap air.
Taqilla merancang tas berdasarkan fungsinya. Ada jenis tas laptop untuk membawa laptop dan perlengkapannya, tas dengan kompartemen untuk laptop di dalamnya yang bisa memuat benda lain, dan tempat yang dikhususkan untuk memuat laptop. Awalnya, model-model Taqilla didesain dengan target pasar perempuan pencinta mode yang selalu membawa laptop.
”Perempuan selalu mencari perpaduan aksesori, seperti tas dan sepatu yang pas dengan baju. Karena tas laptop pada beberapa tahun lalu masih seragam, berwarna hitam dan terkesan maskulin, saya melihat ada celah belum tergarap,” kata Myrna.
Pada perkembangannya, permintaan pun datang dari kaum laki-laki, hingga beberapa model dibuat agar cocok dipakai mereka, seperti model bernama Skiro. Jenis tas pundak ini terbuat dari kanvas yang ditutup kulit berwarna coklat polos.
Label lain, yaitu Hirakedre, menciptakan tas laptop modis yang berkesan rame. Tas yang diproduksi di Cimahi, Jawa Barat, ini bercirikan perca warna-warna kontras sebagai detail.
Dengan target pasar yang beragam, mulai dari anak sekolah hingga pekerja kantoran, Hirakedre merancang motifnya beragam, mulai dari motif-motif abstrak sampai yang terinspirasi oleh alam, seperti bunga, rumah, daun, atau pohon.
Sebagai pembeda dari tas laptop lain, Hirakedre juga mendesain tas dari kain bermotif di bagian dalam, yaitu dari katun dengan motif garis-garis.
”Awalnya sempat ada yang polos, tetapi sekarang dibuat bermotif karena ternyata konsumen memang lebih suka bagian dalam tas yang bermotif,” kata Rooswhan Budhi Utomo, main dealer Hirakedre untuk wilayah Depok.
Bahan bagian luar tas beragam, seperti denim, kanvas, dan katun. Untuk menjaga laptop dari benturan, tas diberi busa jenis polyfoam dengan ketebalan 4-8 milimeter, tergantung ukuran tas. Semakin besar tas, semakin tebal busa yang digunakan. Busa tersebut berfungsi melindungi isi tas dari air agar tidak terserap ke dalam.
”Jadi, seandainya tas terkena hujan, hanya bagian luar yang basah. Air tidak akan ke dalam karena polyfoam tidak menyerap air,” ujarnya.
Bagian dalam tas terdiri dari tempat laptop pada satu sisi dan tempat charger, CD, mouse, serta mousepad di sisi lainnya. Dengan bentuknya yang tipis, tas ini memang benar-benar berfungsi sebagai tas laptop serta perlengkapannya, bukan tas biasa yang dilengkapi tempat menyimpan laptop.
Cantik
Di pasar internasional, ada tas laptop bermerek Maddie Powers yang desain luarnya berupa gambar dari sampul majalah dan novel yang beredar pada tahun 1940 hingga 1950-an, dengan ciri gambar perempuan-perempuan cantik.
Di situs resmi produk terebut, www.maddiepowers.com, tas yang sebagian besar berjenis tas pundak ini bahkan diminati beberapa artis Hollywood, seperti Jessica Simpson, Lindsay Lohan, Mandy Moore, dan Sarah Jessica Parker.
Sementara itu, seorang pemilik blog tentang tas bernama Kate menciptakan tas laptop yang inspirasinya berasal dari tas yang biasanya dibawa saat bepergian jauh menggunakan kereta api atau pesawat.
Meski awalnya tas yang diproduksi perusahaan Rainebrooke ini didesain untuk laptop berukuran 15 inci, pada kenyataannya tas bernama Funchico (fun, chic, and cool) tersebut bisa memuat laptop 17 inci.
Bagian dalam tas yang berfungsi untuk menyimpan laptop bisa dilepas. Hal ini memudahkan saat laptop harus dikeluarkan untuk pemeriksaan di bandar udara.
Kantong-kantong di bagian dalam tas yang terbuat dari wol tebal ini berfungsi untuk menyimpan peralatan elektronik, seperti ponsel, iPod, kamera kecil, dan dokumen. Cara membawanya bisa dijinjing atau diselempangkan di pundak.

Minggu, 12 Februari 2012

Wire Jewelry


KOMPAS.com – Aksesori yang unik pasti selalu digemari kaum perempuan. Tak terkecuali wire jewelry, atau perhiasan yang terbuat dari kawat. Meski bahan bakunya "cuma" kawat, namun jenis perhiasan ini memiliki harga yang beragam, tergantung dari jenis kawat, teknik pengerjaan, hingga lamanya waktu pengerjaan.

“Bahan bakunya adalah kawat tembaga dengan merek artistic wire dari Amerika. Sampai saat ini memang belum diproduksi di Indonesia, sehingga masih diimpor. Dulu saya masih impor langsung melalui belanja online di Amazon, tapi sekarang sudah dibantu oleh Almas Enterprises sebagai distributor bahan baku untuk komunitas Indonesia Wire Jewelry Community,” ujar Lucita Rembeth, salah seorang desainer aksesori kawat yang juga anggota IWJC ini pada Kompas Female.

Meskipun bahan utama kawat masih impor, namun Lucita mengaku batu-batuan yang digunakan untuk perhiasan semuanya berasal dari Indonesia. “Batu-batuan Indonesia sangat kaya dan bentuknya sangat unik. Jadi setiap perhiasan dibuat eksklusif, tidak ada duplikasinya, karena mencari batu yang sama persis itu sangat sulit. Berbeda dengan Swarovsky dari luar negeri yang bisa dipesan ukurannya,” jelas Lucita.

Ia dan teman-teman desainer lainnya yang tergabung dalam IWJC sama-sama mengombinasikan dua komponen tersebut, yaitu kawat artistik (artistic wire) dengan batu-batuan Indonesia. “Kadang kami menggunakan Swarovsky, tapi desain dan bentuk jadinya tidak akan seunik ketika menggunakan batu-batuan alam Indonesia,” ungkap Lucita.

Menurutnya, harga wire jewelry bisa murah dan mahal bergantung kepada banyak faktor. “Jenis kawat itu bermacam-macam. Harga kawatnya saja sudah berbeda. Lalu batu-batuan, antara Swarovsky dengan batu alam harganya berbeda. Kemudian dari segi desain dan kerumitan
mengerjakannya. Semua perpaduan itu membuat harga perhiasan beragam, ada yang murah banget, ada yang mahal banget,” jelasnya.

Selain menjual hasil desainnya sendiri, Lucita mengaku juga memberi kesempatan bagi pelanggan untuk melakukan desain khas sesuai keinginan pelanggan. Misalnya saja, ada yang memesan satu paket untuk pernikahan dari ujung kepala sampai ujung kaki didesain secara khusus. Hal ini membutuhkan waktu pengerjaan yang cukup lama. Untuk itu Lucita biasanya memberi tenggat waktu pengerjaan sesuai kemampuannya.

Lamanya waktu bisa disebabkan oleh lamanya teknik wire working, seperti merajut (crocheting), menganyam, memilin, dan melilit (coiling). Teknik merajut sama halnya seperti merajut benang dengan bantuan hakken namun bahan benang digantikan oleh kawat yang tipis.
Menganyam digunakan untuk menyatukan dua utas kawat atau lebih yang jaraknya tidak terlalu rapat dengan cara melilitkan kawat yang lebih kecil secara bersilangan (zig zag).

Sedangkan memilin adalah teknik menggunakan bantuan alat berupa tang khusus untuk menjalin dua utas kawat saling bersilangan satu sama lain. Sementara, teknik melilit adalah melilitkan kawat berukuran besar atau tebal dengan kawat yang lebih kecil atau tipis.

Jenis kawat yang biasanya digunakan untuk perhiasan adalah: craft wire (kawat kerajinan tangan), copper wire (kawat tembaga), brass wire (kawat kuningan), silver/gold/platted wire (kawat tembaga lapis emas atau perak), gold filled wire (kawat tembaga lapis emas), sterling silver wire (kawat perak 925), beadingwire (bahan nilon yang kuat dan tahan lama), dan memory wire (kawat berbentuk spiral).

Pemilihan jenis kawat dan teknik pengolahan kawat menentukan lamanya waktu pengerjaan sebuah perhiasan. “Kalau bahannya lentur dengan teknik yang tidak rumit, saya biasanya bisa membuat satu perhiasan dalam dua jam saja. Tapi kalau sudah rumit dengan bahan yang keras, biasanya minimal bisa saya selesaikan 15 jam. Hal inilah yang mempengaruhi harga jual,” tutup Lucita.

Bisnis Aksesories Menantang Untuk Digeluti




KOMPAS.com - Perhiasan karya desainer asal Indonesia mulai bermunculan. Kreasinya tak kalah menarik dari produk impor, seperti yang dipamerkan dalam event Asean Jewellery Expo di Balai Kartini, Mei lalu. Dua desainer perhiasan lokal yang merintis bisnis dari nol, Tipuk Wirasari  dan Heri Rusmiyarti, tak keberatan berbagi cerita perjuangan membuat dan menjual perhiasan. Anda berminat juga? Segeralah dimulai.

Tipuk Wirasari dengan bros tepung beras ketan
Pernahkah terbayang mengenakan perhiasan cantik yang berasal dari tepung beras ketan? Sejak tahun 2008, Tipuk Wirasari (42) sudah membuat aneka aksesori dari tepung beras ketan yang dipadu dengan lempengan besi atau perak bakar. Semula, Tipuk bahkan membuat perhiasan dari adonan roti tawar, meniru kebiasaan bude-nya yang selama puluhan tahun membuat aksesori tusuk konde dari adonan roti tawar. Sayang, adonan dari roti ini punya kelemahan.
“Kalau didiamkan selama proses pengeringan, suka dimakan tikus kecil,” tutur Tipuk, yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa jurusan Desain Grafis Universitas Trisakti.

Kata ibu dua anak ini,  dengan bahan baku roti, bude-nya membuat aksesori seperti tusuk konde dan bros. “Hasilnya bisa untuk menyekolahkan anaknya. Tapi ya itu, setelah saya meniru, kok, hasilnya dimakan tikus. Akhirnya saya memodifikasi bahan baku tepung terigu dan bahan lainnya sehingga menjadi adonan yang lebih baik dan tidak dimakan binatang. Maunya saya aksesori yang tahan air, lentur dan kuat.”
Setelah terus membuat formula hingga puluhan kali dan beberapa kali gagal, akhirnya Tipuk menemukan formula yang pas. “Saya menemukan formula dari bahan baku tepung beras ketan," tuturnya. Aksesori itulah yang Mei lalu turut dipamerkan di Asean Jewellery Expo.

Satu produk satu model
Aksesori yang semula dikeringkan dengan panas matahari, kini dikeringkan dengan oven dengan suhu kira-kira 60 derajat Celsius. Agar mendapatkan warna yang cantik dan bergradasi, Tipuk mengaku awalnya membuat komposisi warna lukisan dengan memakai cat poster. Tetapi kini, ia menggunakan cat minyak yang disemprot dengan bahan yang membuat perhiasannya berkilau.

Hingga saat ini, Tipuk masih melayani pembelian terbatas karena seluruh aksesorinya dibuat handmade. Satu model, satu produk, satu warna. “Kecuali bila minta dibuatkan sesuai contoh dari perhiasan yang sudah ada, saya bisa membuat lagi. Atau sekalian pesan satu set yang terdiri dari bros, anting atau giwang, dan cincin. Kalau membuatnya bersamaan, hasil pewarnaan dan motif bisa sama. ”

Produk yang memakai brand Tanduran Banyu ini hanya bisa dibeli melalui pameran atau dipesan via telepon. Tipuk belum tergerak memasarkan produknya secara online. “Produk ini sudah laku sampai ke berbagai daerah, terutama di luar Jawa. Biasanya kalau ibu-ibu pejabat ngambilnya tusuk konde. Perempuan yang mengenakan jilbab mengambil bros. Customer saya kebanyakan menengah ke atas, ya,” terang Tipuk yang kini juga membuka kursus membuat aksesori tepung ketan di rumahnya.

Heri Rusmiyati, gara-gara wire
Aksesori yang terbuat dari kawat tembaga atau sering disebut wire, kini  tengah digemari. Wire  bisa tampil sangat variatif kala dipadukan dengan aneka batu mulia, kerang, dan mutiara. Banyak perempuan hatinya “kecantol” pada aksesori kawat wire ini, tak terkecuali Heri Rusmiyati (38).

Heri adalah penyuka aksesori. Saat masih bekerja sebagai staf di UNICEF, setiap hari Heri mengenakan aksesori untuk menunjang penampilan. Tahun 2007, ia mengikuti kursus membuat aksesori di Bogor. Di rumah, ia mempraktikkan keterampilan membuat perhiasan lalu hasilnya dibagi untuk teman-temannya. Kadang juga dijual.

Setahun kemudian, Heri mengambil kursus perhiasan khusus wire. Kawat yang dililit-lilit itu menurutnya lebih menantang dan ekspresif. “Hasil kreasi wire lalu saya unggah di internet, ternyata langsung dapat order. Dari sinilah saya mulai berpikir untuk menekuni dengan serius bisnis ini, saya lantas keluar dari tempat kerja. Sempat ada pergulatan batin juga, sih, karena saya terbiasa mendapat penghasilan rutin tiap bulan. Tapi saya juga tidak bisa kerja kantor sementara order perhiasan datang terus.”

Memeras ide
Lebih santaikah bekerja di rumah? “Tidak juga. Setiap hari saya harus memeras ide untuk menciptakan desain baru. Terlebih sekarang saya memiliki tiga karyawan yang harus saya gaji tiap bulan. Kalau saya tidak punya desain baru, mereka tidak ada pekerjaan. Kalau soal waktu, memang lebih fleksibel.”

Kini Heri telah memiliki jadwal secara periodik untuk menggelar karyanya di berbagai acara pameran. Di saat-saat itulah kesibukannya benar-benar meningkat. “Saya urusi semuanya sendiri. Mulai nyetir mobil bawa barang, menata display, sampai ikut menunggu pameran.”

Dari pameran-pameran itulah order berdatangan. Order juga datang melalui media online dan telepon. Heri kini sudah mahir membuat kalung, cincin, bros dan giwang. “Jujur, saat banyak order pendapatannya bisa melebihi gaji saya sebagai orang kantoran,” ucap Heri yang juga menerima kursus di rumahnya di jalan Pisok XX, Bintaro, Tangerang.

(Tabloid Nova/Rini Sulistyati)